Larutan-1
Fasa cair yang berupa sistem dua atau multi
komponen, yakni larutan. Larutan terdiri atas cairan yang melarutkan zat (pelarut) dan zat yang larut di dalamnya (zat terlarut). Pelarut tidak harus cairan, tetapi dapat
berupa padatan atau gas asal dapat melarutkan zat lain. Sistem semacam ini
disebut sistem dispersi. Untuk sistem dispersi, zat yang berfungsi seperti pelarut
disebut medium pendispersi, sementara zat yang berperan seperti zat terlarut disebut
dengan zat terdispersi (dispersoid).
a. Konsentrasi
Konsentrasi
larutan didefinisikan dengan salah satu dari ungkapan berikut:
Ungkapan
konsentrasi
1. persen massa (%) =(massa zat terlarut/ massa
larutan) x 100
2. molaritas (konsentrasi molar) (mol dm-3)
=(mol zat terlarut)/(liter larutan)
3. molalitas (mol kg-1) =(mol zat
teralrut)/(kg pelarut)
Contoh
soal:
Hitung jumlah perak nitrat AgNO3 yang diperlukan untuk membuat 0,500 dm3 larutan 0,150 mol.dm-3, asumsikan
massa molar AgNO3 adalah 170 g mol-1.
Jawab:
Bila jumlah perak nitrat yang diperlukan x g,
x = [170 g mol-1 x 0,500 (dm3)
x 0,150 (mol dm-3)]/[1 (dm3) x 1 (dm3)]
∴x
= 12,8 mg.
b. Tekanan uap
Tekanan uap cairan adalah salah satu sifat
penting larutan. Tekanan uap larutan juga penting dan bermanfaat untuk
mengidentifikasi larutan Tekanan uap komponen A, pA,diungkapkan
sebagai:
pA = pA0 xA … (7.2)
pA0 adalah tekanan uap cairan A murni pada suhu
yang sama. Hubungan yang mirip juga berlaku bagi tekanan uap B, pB.
Hubungan ini ditemukan oleh kimiawan Perancis Francois Marie Raoult (1830-1901)
dan disebut dengan hukum Raoult. Untuk larutan yang mengikuti hukum Raoult, interaksi antara
molekul individual kedua komponen sama dengan interaksi antara molekul dalam
tiap komponen. Larutan semacam ini disebut larutan ideal.
Contoh
soal:
Tekanan
uap cairan A dan B adalah 15 Torr dan 40 Torr pada 25°C. tentukan tekanan uap
larutan ideal yang terdiri atas 1 mol A dan 5 mol of B.
Jawab:
pA = pA0 xA = 15 x (1/6) = 2,5 Torr
pB = pB0 xB = 40 x (5/6) = 33,3 Torr P = pA + pB = 35,8 Torr
c. Larutan ideal dan
nyata
Sebagaimana juga perilaku gas nyata berbeda
dengan perilaku gas ideal, perilaku larutan nyata berebeda dengan perilaku
larutan ideal, dengan kata lain berbeda dari hukum Raoult. Gambar 7.7(a)
menunjukkan kurva tekanan uap sistem biner dua cairan yang cukup berbeda
polaritasnya, aseton Me2CO dan karbon disulfida CS2.
Dalam hal ini, penyimpangan positif dari hukum Raoult (tekanan uap lebih besar)
diamati. Gambar 7.7(b) menunjukkan tekanan uap sistem biner aseton dan
khloroform CHCl3. Dalam kasus ini, penyimpangan negatif dari hukum
Raoult diamati. Garis putus-putus menunjukkan perilaku larutan ideal. Peilaku
larutan mendekati ideal bila fraksi mol komponen mendekati 0 atau 1. Dengan
menjauhnya fraksi mol dari 0 atau 1, penyimpangan dari ideal menjadi lebih
besar, dan kurva tekanan uap akan mencapai minimum atau maksimum.
d. Kenaikan titik
didih dan penurunan titik beku
Bila
dibandingkan tekanan uap larutan pada suhu yang sama lebih rendah dari tekanan
uap pelarutnya. Jadi, titik didih normal larutan, yakni suhu saat fasa gas
pelarut mencapai 1 atm, harus lebih tinggi daripada titik didih pelarut.
Fenomena ini disebut dengan kenaikan titik didih larutan.
Dengan
menerapkan hukum Raoult pada larutan ideal, kita dapat memperoleh hubungan
berikut:
pA = pA0 xA = pA0 [nA /(nA + nB)] …. (7.3)
(pA0- pA)/ pA0 = 1 – xA = xB … (7.4)
xA dan xB adalah fraksi mol, dan nA dan nB adalah jumlah mol tiap komponen. Persamaan ini
menunjukkan bahwa, untuk larutan ideal dengan zat terlarut tidak mudah menguap,
penurunan tekanan uap sebanding dengan fraksi mol zat terlarut.
Untuk larutan encer, yakni nA + nB hampir sama dengan nA, jumlah mol nB dan massa pada konsentrasi molal mB diberikan dalam ungkapan.
xB = nB/(nA + nB) = nB/nA=
nB/(1/MA) = MAmB … (7.5)
MA adalah massa molar pelarut A. Untuk larutan
encer, penurunan tekanan uap sebanding dengan mB, massa konsentrasi
molal zat terlarut B.
Perbedaan titik didih larutan dan pelarut
disebut dengan kenaikan titik didih, Tb. Untuk larutan encer,
kenaikan titik didih sebanding dengan massa konsentrasi molal zat terlarut B.
Tb = Kb mB … (7.6)
Tetapan kesebandingan Kb khas untuk setiap pelarut dan disebut dengan kenaikan
titik didih molal.
Hubungan yang mirip juga berlaku bila larutan
ideal didinginkan sampai membeku. Titik beku larutan lebih rendah dari titik
beku pelarut. Perbedaan antara titik beku larutan dan pelarut disebut penurunan
titik beku, Tf. Untuk larutan encer penurunan titik beku akan
sebanding dengan konsentrasi molal zat terlarut mB
Tf = Kf mB … (7.7)
Tetapan kesebandingannya Kb khas untuk tiap pelarut dan disebut dengan
penurunan titik beku molal.
Tabel
7.3 Kenaikan titik didih dan penurunan titik beku molal.
pelarut
|
titik
didih (°C)
|
Kb
|
pelarut
|
titik
beku (°C)
|
Kf
|
CS2
|
46
|
2.40
|
H2O
|
0
|
1.86
|
aseton
55,9
|
1,69
|
benzen
|
5,1
|
5,07
|
|
benzen
|
79,8
|
2,54
|
asam
asetat
|
16,3
|
3,9
|
H2O
|
100
|
0,51
|
kamfer
|
180
|
40
|
Contoh
soal:
Larutan dalam air terdiri atas 100 g H2O
dan 5,12 g zat A (yang massa molekulnya tidak diketahui) membeku pada -0,280°C.
Dengan menggunakan data di Tabel 7.3, tentukan massa molar A.
Jawab:
Massa
molar A andaikan M. Dengan menggunakan persamaan 7.7, M dapat ditentukan dengan
0,280
= Kf x (m/M) x (1/W) = 1,86 x (5,12/M) x (1/0,11)
∴ M = 340 g mol-1.
e. Tekanan osmosis
Bila larutan dan pelarut dipisahkan membran
semipermeabel, diperlukan tekanan yang cukup besar agar pelarut bergerak dari
larutan ke pelarut. Tekanan ini disebut dengan tekanan osmosis. Tekanan osmosis
larutan 22,4 dm3 pelarut dan 1 mol zat
terlarut pada 0 °C adalah 1,1 x 105 N m-2.
Hubungan
antara konsentrasi dan tekanan osmoisi diberikan oleh hukum van’t Hoff’s.
πV
= nRT … (7.8)
π
adalah tekanan osmosis, V volume, T temperatur absolut, n jumlah zat (mol) dan
R gas. Anda dapat melihat kemiripan formal antara persamaan ini dan persamaan
keadaan gas. Sebagaimana kasus dalam persamaan gas, dimungkinkan menentukan
massa molekular zat terlarut dari hubungan ini.
Contoh
soal:
Tekanan osmosis larutan 60,0 g zat A dalam
1,00 dm3 air adalah 4,31 x 105 Nm–2. Tentukan massa molekul A.
Jawab:
Dengan
menggunakan hubungan πV = nRT
4,31 x 105 (N m-2) x 1,00 x 10-3 (m3) = [60,0 (g) x 8,314 (J mol-1 K-1) x 298 (K)]/M (g mol–1)
∴ M = 345 (g mol-1)
f. Viskositas
Gaya
tarik menarik antarmolekul yang besar dalam cairan menghasilkan viskositas yang
tinggi. Koefisien viskositas didefinisikan sebagai hambatan pada aliran cairan.
Gas juga memiliki viskositas, tetapi nilainya sangat kecil. Dalam kasus
tertentu viskositas gas memiliki peran penting, misalnya dalam peawat terbang.
Viskositas
1. Viskositas cairan yang partikelnya besar dan berbentuk
tak teratur lebih tinggo daripada yang partikelnya kecil dan bentuknya teratur.
2. Semakin tinggi suhu cairan, semakin kecil
viskositasnya.
Koefisien viskositas juga kadang secara
singkat disebut dengan viskositas dan diungkapkan dalam N s m-2 dalam satuan SI. Bila sebuah bola berjari-jari
r bergerak dalam cairan dengan viskositas ηdengan kecepatan U, hambatan D
terhadap bola tadi diungkapkan sebagai.
D
= 6πhrU … (7.9)
Hubungan
ini (hukum Stokes) ditemukan oleh fisikawan Inggris Gabriel Stokes (1819-1903).
g. Tegangan permukaan
Tegangan permukaan juga merupakan sifat fisik yang berhubungan
dengan gaya antarmolekul dalam cairan dan didefinisikan sebagai hambatan
peningkatan luas permukaan cairan. Awalnya tegangan permukaan didefinisikan
pada antarmuka cairan dan gas. Namun, tegangan yang mirip juga ada pada
antarmuka cairan-cairan, atau padatan dan gas. Tegangan semacam ini secara umum
disebut dengantegangan antarmuka.
Cairan
naik dalam kapiler, fenomena kapiler, juga merupakan fenomena terkenal akibat adanya
tegangan permukaan. Semakin besar tarikan antar molekul cairan dan kapilernya,
semakin besar daya basah cairan. Bila gaya gravitasi pada cairan yang naik dan
tarikan antara cairan dan dinding kapiler menjadi berimbang, kenaikan akan
terhenti. Tegangan permukaan γ diungkapkan sebagai.
γ
= rhdg/2 …. (7.10)
h
adalah tinggi kenaikan cairan, r radius kapiler dan g percepatan gravitasi.
Jadi, tegangan permukaan dapat ditentukan dengan percobaan.